2023-04-05 01:45:18

Mengenal Lebih Lanjut Pajak Karbon di Indonesia, sempat Alami Penundaan Realisasi




Sehubungan dengan Indonesia yang berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) maksimal pada tahun 2060 dan target pengurangan emisi Indonesia 31,89% pada 2030 mendatang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), seperti yang telah disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (MENKO MARVES), Luhut B. Pandjaitan, bahwa Pemerintah berencana untuk memberlakukan carbon tax (pajak karbon). Inisiasi penerapan pajak karbon tersebut untuk mendorong inovasi teknologi sehingga para pelaku usaha lebih memilih untuk mengambil inisiasi dan beralih ke aktivitas ekonomi hijau atau rendah karbon, sehingga dapat mengurangi karbon dioksida dan zat rumah kaca lainnya. Selain itu, pajak karbon ini tentunya akan dijadikan sebagai instrumen pengendalian iklim dalam pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan prinsip “pencemar membayar” (polluter pays principle) berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Pasal 13, yang nantinya penggunaan dana dari pajak karbon tersebut juga akan dianggarkan untuk pengembangan energi bersih atau Energi Baru Terbarukan (EBT).

Pada awalnya pajak karbon tersebut sudah akan dicanangkan sejak tahun 2021, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada bulan April tahun 2021, namun penerapannya batal diimplementasikan. Lalu penundaan yang kedua kalinya pada tahun 2022, dengan dalih mempertimbangkan mekanisme pasar karbon dan situasi perekonomian yang dinilai masih belum cukup siap. Pada akhirnya implementasi pajak Karbon ditunda hingga ditargetkan akan berfungsi di tahun 2025 nanti.

Menkeu Sri Mulyani menjelaskan, bahwa pajak karbon merupakan salah satu instrumen mengurangi peningkatan emisi karbon di Indonesia. Karena ketika suatu negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, disaat itu juga banyak CO2 yang dihasilkan. Namun, permasalahannya banyak pihak di Indonesia yang terkesan masih belum peduli dalam memutuskan bagaimana penerapannya. Pemerintah dirasa cukup sulit dalam memperkenalkan pasar karbon ke Industri di Indonesia, dikarenakan masih banyak masyarakat yang belum paham bagaimana cara melihat dan menghitung CO2 itu sendiri. Jika diibaratkan seperti membeli barang, para konsumen dapat secara nyata melihat barangnya dan mau membayar, lain halnya dengan karbon yang tidak dapat dilihat. Sehingga pemerintah kini masih mempersiapkan bagaimana cara untuk mengukur emisi karbon dan mensosialisasikan ke masyarakat, karena hal ini berhubungan erat dengan regulasi global dan peraturan nasional untuk menghitung CO2 di suatu negara yang mempengaruhi masa depan perusahaan kedepannya.

Dibutuhkan perencanaan dan perhitungan yang matang agar dapat meminimalisir dampak negatif seperti inflasi dan potensi kenaikan harga BBM maupun listrik seiring dengan bertambahnya harga produksi, karena dalam penerapan pajak karbon nanti, pemerintah akan memfokuskan pajak karbon kepada sektor yang menghasilkan emisi gas rumah kaca, seperti contohnya PLTU Batubara sebagai penyumbang emisi teringgi.

Penetapan pajak karbon di Indonesia nanti direncanakan akan dapat menggunakan dua mekanisme, yaitu dengan skema carbon tax, menetapkan batas emisi yang diperbolehkan dan membayarkan pajak karbon kepada negara. Selanjutnya ada pula skema cap and tax yang mengambil jalan tengah antara skema carbon tax dan cap and trade yang digunakan di banyak negara. Konsep dari skema cap and tax versi pemerintah yang dimodifikasi ini pada intinya pajak akan dijadikan sebagai insentif untuk melakukan perdagangan karbon. Namun ia juga akan menjadi pinalti jika pencemar tidak memenuhi kewajiban batas emisinya dengan cara membeli Persetujuan Teknis Emisi (PTE) dari perusahaan yang emisinya tidak melebihi batas. Dari pembelian PTE atau Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE) ini, batas emisi perusahaan tersebut bisa bertambah dan dapat menjadi pengurangan kewajiban pajak karbon pencemar. Namun apabila perusahaan tersebut telah mengeluarkan emisi karbon melebihi cap yang ditetapkan, ia tidak dapat membeli tambahan cap, dan kelebihan tersebut akan dipajaki oleh pemerintah.

Berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan tercatat bahwa rencana tarif pajak karbon di Indonesia adalah Rp 30 per kilogram CO2e, dan Indonesia termasuk ke dalam negara dengan tarif pajak karbon terendah di dunia dengan tiap negara memiliki kebijakan pajak karbon yang beragam. Seperti Finlandia negara yang pertama kali menerapkan pajak karbon di tahun 1990, yang menetapkan tarif pajak berbeda terhadap emisi karbon dan pembangkit listrik, yang berhasil mencapai $24,39 per ton karbon. Ada pula Meksiko yang menetapkan tarif pajak berbeda untuk emisi karbon dari industri penerbangan dengan hasil dari penyulingan minyak. Untuk wilayah Asia Tenggara, hanya Singapura yang menerapkan kebijakan pajak karbon ini pada tahun 2019. Kebijakan pajak karbon di Singapura, Jepang Perancis dan Cili memberlakukan rentang tarif pajak dari $3 hingga $49 per ton CO2e. Ada pula negara-negara lain yang menggunakan pengendalian emisi karbon melalui instrumen pasar karbon atau emission trading system (ETS) seperti Korea Selata, New Zealand dan sejumlah negara di bagian Amerika Serikat dan juga Uni Eropa.

Dilihat dari kebijakan pajak karbon yang diaplikasikan di beberapa negara tersebut, pajak karbon terbukti dapat menurunkan emisi negara-negara tersebut secara efektif bersamaan dengan bertambahnya pemasukan negara dari penerimaan pajak. Seperti yang diungkapkan Kementerian ESDM, harapannya dana yang terkumpul dari pajak karbon tersebut akan digunakan untuk mitigasi perubahan iklim, menambah dana pembangunan, investasi ramah lingkungan/green investment seperti mengembangkan sumber energi baru terbarukan (EBT) sektor yang juga dapat menurunkan emisi karbon.


By: Rr. Maharani Vania Tinandia